Pasar saham Asia serentak melemah pada pembukaan perdagangan Kamis (3/4), menyusul keputusan Presiden AS Donald Trump yang memberlakukan tarif impor tinggi terhadap 60 negara. Kebijakan ini menimbulkan gejolak di pasar keuangan regional, dengan tarif yang dikenakan berkisar antara 10 persen hingga 50 persen.
Langkah ini memicu respons negatif pasar. Indeks saham utama di Vietnam anjlok 6,2 persen—penurunan harian terbesar dalam lebih dari empat tahun. Pasar saham di Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura juga mencatat pelemahan serentak. Di sesi kedua perdagangan pukul 15.02 WIB, bursa Singapura turun 0,27 persen atau 11,500 poin. Sementara itu, indeks Hang Seng di Hong Kong terkoreksi 1,44 persen dan Shanghai Composite Index turun 0,24 persen. Indeks Nikkei di Jepang tercatat melemah tajam hingga 2,77 persen.
Dampak Luas ke Mata Uang dan Obligasi
Kebijakan tarif impor Trump juga menekan nilai tukar mata uang Asia Tenggara. Baht Thailand melemah 0,8 persen terhadap dolar AS, disusul pelemahan dong Vietnam dan ringgit Malaysia. Dampak paling signifikan dirasakan negara-negara yang terkena tarif tinggi, seperti Vietnam (46 persen), Thailand (36 persen), dan Indonesia (32 persen).
China, mitra dagang utama kawasan ini, juga jadi sasaran besar dengan total tarif kumulatif mencapai 54 persen. Langkah ini memperburuk kekhawatiran pasar terhadap potensi perlambatan ekonomi global.
Sentimen Pasar dan Respons Analis
Menurut Homin Lee, ahli strategi makro senior dari Lombard Odier Ltd., kebijakan ini akan menjadi tantangan berat bagi negara-negara ASEAN dalam beberapa bulan mendatang. Dampak langsung dari lonjakan tarif serta efek domino terhadap perekonomian global diperkirakan akan memperlambat laju ekspor dan investasi.
Vietnam, yang sangat bergantung pada ekspor—hampir 90 persen dari total output ekonomi—gagal menghindari salah satu tarif tertinggi. Negara ini juga mencatat surplus perdagangan terbesar ketiga dengan AS, menjadikannya target utama Washington.
“Investor tidak memperkirakan lonjakan tarif setinggi ini. Banyak yang mengira tarif hanya akan di kisaran 10–15 persen, sehingga kepanikan pasar cukup wajar,” ungkap Nguyen Anh Duc dari SBB Securities. Ia menambahkan, tingginya saldo pinjaman margin bisa memperparah situasi jika harga saham terus merosot.
Sementara itu, saham Singapura dan Malaysia berhasil memangkas sebagian kerugian berkat tarif yang lebih rendah, masing-masing 10 persen dan 24 persen. Dolar Singapura bahkan menguat terhadap dolar AS, menjadi salah satu mata uang berkinerja terbaik di Asia pada hari itu. Di sisi lain, pasar Indonesia tidak terpengaruh langsung karena sedang libur nasional hingga 7 April.
Risiko Kredit dan Ketegangan Global Meningkat
Selain bursa saham dan mata uang, biaya untuk mengasuransikan utang negara-negara Asia Tenggara juga meningkat. Credit-default swaps (CDS) Asia berkembang mencerminkan kekhawatiran investor terhadap kemampuan negara berkembang membayar utangnya. Kontrak CDS lima tahun Indonesia mencapai level tertinggi sejak Oktober 2023.
China menyatakan dengan tegas penolakan atas kebijakan tarif impor Trump dan berjanji akan mengambil tindakan balasan. Ketegangan perdagangan yang meningkat berisiko memperburuk tekanan terhadap mata uang Asia, termasuk rupiah Indonesia yang telah melemah 2,8 persen sepanjang tahun ini dan sempat menyentuh level terendah sejak krisis 1998.
Meski begitu, menurut Gary Tan dari Allspring Global Investments, dampak terhadap investasi langsung asing tidak seragam. Setiap negara ASEAN memiliki karakteristik ekonomi dan basis investor yang berbeda, yang bisa menjadi penentu ketahanan terhadap tekanan global.
Baca artikel seru lainnya di sini!
Sumber : okezone.com