Dunia teknologi kembali dikejutkan dengan kemunculan model AI baru dari China yang disebut DeepSeek R1. Dikembangkan oleh startup asal Hangzhou, DeepSeek, model ini tak hanya mengungguli beberapa AI top dunia seperti ChatGPT dari OpenAI, tetapi juga merajai App Store iOS dan menggeser Meta sebagai pemain utama dalam AI open-source.
Keberhasilan DeepSeek ini memicu pertanyaan besar: Apakah China mulai menyusul AS dalam perlombaan AI global, meskipun dibatasi oleh sanksi semikonduktor dari Amerika?
DeepSeek R1: AI Berkualitas Tinggi dengan Biaya Super Rendah
Salah satu faktor yang mengejutkan banyak orang adalah klaim bahwa DeepSeek R1 hanya menghabiskan sekitar $6 juta untuk pelatihannya, jauh lebih murah dibandingkan investasi miliaran dolar yang digelontorkan OpenAI dan Microsoft untuk mengembangkan model AI mereka.
Namun, bukan hanya dari sisi biaya yang membuatnya menarik. DeepSeek R1 juga menawarkan harga jauh lebih murah bagi pengguna. Jika OpenAI mengenakan biaya $60 per juta token, DeepSeek hanya membanderolnya $2,19—hampir 30 kali lebih murah!
Tak heran, kabar ini membuat pasar saham AS gonjang-ganjing. Saham Nvidia turun lebih dari 15%, dan investor mulai mempertanyakan apakah pengeluaran besar-besaran untuk AI masih masuk akal jika China mampu menciptakan model yang kompetitif dengan biaya rendah.
Siapa Sebenarnya DeepSeek?
DeepSeek merupakan perusahaan AI yang lahir dari hedge fund China, High Flyer, dan didirikan kurang dari dua tahun lalu. Perusahaan ini memiliki visi besar untuk mengejar Artificial General Intelligence (AGI)—AI yang bisa berpikir dan bernalar seperti manusia.
Pada akhir 2024, DeepSeek mulai menarik perhatian setelah merilis model AI “v3”, yang mampu mengalahkan model open-source dari Meta dan menyaingi GPT-4 dari OpenAI. Filosofi mereka? “Menyelesaikan pertanyaan paling sulit di dunia” tanpa fokus mencari keuntungan besar.
Hal ini membuat industri AI di China bergejolak, dengan perang harga yang memaksa banyak perusahaan memangkas biaya layanan mereka. Kini, tampaknya perang harga tersebut mulai merambah ke pasar global.
Namun, Ada Keterbatasan…
Meski DeepSeek R1 memiliki kecerdasan yang luar biasa, ada batasan yang tak bisa dihindari. Seperti AI lain yang dikembangkan di China, model ini harus mematuhi aturan ketat pemerintah dalam menyaring informasi.
Contohnya? Ketika ditanya tentang tragedi Tiananmen Square 1989, DeepSeek R1 langsung menolak menjawab dengan respons, “Maaf, itu di luar cakupan saya. Mari kita bicara hal lain.” Hal ini menjadi perbedaan mendasar dengan model AI dari AS yang umumnya lebih terbuka dalam membahas berbagai topik sensitif.
Bagaimana Ini Mempengaruhi Raksasa Teknologi AS?
Keberhasilan DeepSeek telah membuat raksasa teknologi seperti Google, Meta, Microsoft, dan Amazon berpikir ulang tentang strategi mereka. Meta bahkan dikabarkan telah membentuk tim khusus untuk menganalisis DeepSeek R1, guna mencari tahu bagaimana mereka bisa melatih model dengan begitu efisien.
Di pasar keuangan, DeepSeek juga telah mengguncang ekspektasi terhadap kebutuhan chip AI. Saham Nvidia yang sebelumnya dianggap sebagai pemimpin dalam penyediaan hardware AI langsung turun, karena investor mulai ragu apakah industri benar-benar membutuhkan chip mahal dalam jumlah besar untuk melatih model AI canggih.
Apakah DeepSeek Transparan?
Salah satu hal yang masih diperdebatkan adalah apakah DeepSeek benar-benar hanya menggunakan 2.000 GPU kelas menengah dari Nvidia, seperti yang mereka klaim. Beberapa pakar, termasuk CEO Scale AI, Alexandr Wang, justru menyebut bahwa DeepSeek mungkin memiliki akses ke 50.000 Nvidia H100, salah satu GPU paling kuat di dunia.
Jika klaim ini benar, maka berarti China mungkin telah menemukan cara untuk mengakses teknologi chip tingkat tinggi, meskipun ada larangan ekspor dari AS. Hal ini bisa menjadi indikasi bahwa strategi Washington dalam membatasi perkembangan AI China tidak seefektif yang diharapkan.
Persaingan AI: Menuju Dunia Multipolar?
Di tengah ketidakpastian ini, satu hal menjadi jelas: AI tidak lagi didominasi oleh satu negara saja.
Jika selama ini AS dianggap sebagai pemimpin mutlak dalam AI, kini China menunjukkan bahwa mereka tidak jauh tertinggal. Bahkan, beberapa ahli memperkirakan bahwa dalam satu tahun ke depan, China bisa saja mencapai level AI superintelligence yang setara dengan AS.
Seperti yang dikatakan oleh mantan staf kebijakan OpenAI, Miles Brundage: “China akan memiliki superintelligence mereka sendiri, tidak lebih dari satu tahun setelah AS, kecuali jika terjadi perang.”
Hal ini menandakan bahwa kita sedang menuju dunia AI yang multipolar, di mana tidak ada satu kekuatan tunggal yang mendominasi. Bagi pengguna dan industri global, ini bisa menjadi kabar baik karena persaingan akan mendorong inovasi dan harga yang lebih terjangkau. Namun bagi raksasa teknologi AS, ini bisa menjadi tantangan besar untuk mempertahankan keunggulan mereka.
Jadi, apakah DeepSeek benar-benar ancaman bagi dominasi AI Amerika, atau justru menjadi pemicu inovasi lebih besar? Waktu yang akan menjawab.