Ketertinggalan Teknologi di Rumah Sakit Irlandia
Sebagai pusat banyak perusahaan teknologi global, Irlandia justru tertinggal dalam penerapan teknologi di sektor kesehatannya. Rumah sakit di negara ini belum memiliki sistem pencatatan pasien terintegrasi atau identifikasi unik untuk melacak pasien saat berpindah antar klinik.
Pada Juli 2024, kegagalan sistem komputer membuat Rumah Sakit Mater di Dublin menunda operasi dan meminta masyarakat tidak datang ke UGD. Tiga tahun sebelumnya, serangan ransomware dari Rusia melumpuhkan jaringan komputer sistem kesehatan Irlandia dan membocorkan 520 rekam medis pasien secara online.
Irlandia kini melakukan reformasi besar melalui program Sláintecare yang diumumkan sejak 2017. Sebagian dari surplus anggaran €22,9 miliar (Rp391 triliun) dialokasikan untuk menciptakan layanan kesehatan gratis seperti di Inggris dan Kanada.
Tantangan Besar: Antrian dan Diagnostik
Salah satu hambatan utama layanan kesehatan Irlandia adalah panjangnya daftar tunggu, terutama untuk pemindaian MRI dan CT scan. Situasi ini memburuk saat musim dingin. Pada Januari 2025, sebanyak 444 pasien harus menunggu di troli sebelum mendapatkan perawatan di UGD.
Untuk mengatasi masalah ini, Rumah Sakit Mater mulai mengadopsi kecerdasan buatan (AI) di departemen radiologi. Profesor Peter MacMahon, dokter radiologi dengan latar belakang pemrograman, memimpin inovasi ini.
“Kami menggunakan AI untuk langsung menganalisis pemindaian kepala guna mendeteksi pendarahan, pemindaian dada untuk gumpalan darah, dan rontgen tulang untuk patah tulang,” jelasnya.
Teknologi ini sangat membantu tenaga medis muda. Mereka dapat mengambil keputusan medis di tengah malam tanpa harus menunggu dokter senior. “Kini, perawat atau dokter junior di pukul 2 pagi tidak lagi sendirian. Mereka memiliki ‘pendamping’ berbasis AI,” tambahnya.
AI untuk Rumah Sakit di Daerah Terpencil
Rumah sakit di daerah terpencil menghadapi tantangan berbeda. Letterkenny University Hospital di Donegal, misalnya, tidak memiliki fasilitas MRI pada malam hari dan akhir pekan. Akibatnya, pasien yang memerlukan MRI darurat harus dibawa dengan ambulans ke Dublin.
Sebagai solusi, Profesor MacMahon dan peneliti AI Paul Banahan mengembangkan model AI yang dapat menciptakan “MRI sintetis” dari pemindaian CT. Model ini dilatih menggunakan 9.500 pasang gambar CT dan MRI dari pasien yang sama. Teknologi ini memungkinkan sistem kesehatan memprediksi hasil MRI berdasarkan CT scan yang tersedia di hampir semua UGD.
Selain itu, mereka mengeksplorasi penggunaan model bahasa AI untuk menganalisis pola penyakit dan tren dari laporan medis berbasis teks.
Tantangan Infrastruktur dan Regulasi
Penerapan AI dalam radiologi di Irlandia didukung sistem penyimpanan digital terpusat sejak 2008. Namun, informasi penting lain seperti catatan medis dan elektrokardiogram (EKG) masih banyak tersimpan dalam format kertas atau basis data kecil yang tidak terhubung.
Profesor MacMahon menekankan bahwa keterbatasan ini dapat “sangat menghambat” penerapan AI dalam deteksi penyakit dan peningkatan layanan klinis.
Banyak rumah sakit masih bergantung pada sistem IT lama. Dr. Robert Ross, dosen senior ilmu komputer di Technological University Dublin, menyatakan rumah sakit saat ini hanya berusaha “menjaga sistem tetap berjalan”, sehingga sulit mengintegrasikan AI.
Selain itu, penggunaan AI dalam layanan kesehatan menghadapi risiko kesalahan, seperti teknologi pengenalan suara yang bisa menghasilkan informasi keliru. Oleh karena itu, dalam pelatihan AI, sistem harus diberi penalti jika menghasilkan informasi tidak valid, jelas Profesor MacMahon.
Bias dalam AI juga menjadi perhatian. Namun, Profesor MacMahon menegaskan bahwa “manusia juga memiliki bias”. Misalnya, dokter yang kelelahan mungkin tidak mempertimbangkan risiko gumpalan darah pada pasien muda karena asumsi mereka sehat.
Regulasi Belum Sepenuhnya Siap
Dr. Aidan Boran, pendiri Digital Gait Labs, menyatakan regulasi kesehatan belum siap mengakomodasi AI. Misalnya, sertifikasi CE di Uni Eropa mengharuskan perangkat medis mencantumkan detail pabrik produksinya, aturan yang tidak relevan bagi perangkat lunak AI yang hanya memerlukan duplikasi kode.
Selain itu, AI memiliki “masalah kotak hitam”. Sistem sangat kompleks sehingga bahkan penciptanya pun tidak selalu memahami bagaimana keputusan dibuat. Dr. Paul Gilligan, kepala layanan kesehatan mental di St Patrick’s Mental Health Services, menekankan bahwa dokter harus dapat menjelaskan keputusan berbasis AI kepada pasien secara transparan.
Kesimpulan
Irlandia sedang berada di persimpangan dalam modernisasi layanan kesehatannya. Meski AI mulai diterapkan dalam diagnostik medis untuk mengatasi daftar tunggu panjang, keterbatasan infrastruktur IT dan regulasi masih menjadi kendala utama. Dengan strategi yang tepat, teknologi ini berpotensi besar meningkatkan efisiensi layanan kesehatan dan menyelamatkan lebih banyak nyawa di masa depan.
Sumber : BBC News