Apple tengah menjadi sasaran kritik di media teknologi dan keuangan karena peluncuran teknologi AI yang dinilai tidak seperti biasanya. Setelah memperkenalkan Siri versi AI dalam acara besar bulan Juni lalu, Apple justru menunda rilisnya tanpa batas waktu yang jelas. Sementara itu, fitur AI yang sudah diluncurkan—seperti ringkasan pesan teks—dianggap tidak terlalu membantu.
Meski kritik terhadap lambatnya Apple mengintegrasikan AI bisa dimengerti, ada sisi lain yang sering luput dari sorotan.
Sama seperti para raksasa teknologi lainnya, Apple saat ini sedang berlomba menerapkan teknologi AI ke dalam produknya. Tapi pertanyaannya, apakah teknologi ini benar-benar menjawab kebutuhan pengguna? Sampai sekarang, jawabannya masih kabur. Bahkan, konsumen pun belum terlihat menuntut kehadiran fitur ini. Bukti nyatanya: tahun lalu, Apple terpaksa menarik iklan AI-nya karena reaksi publik yang begitu negatif.
Alasan sesungguhnya di balik upaya agresif perusahaan teknologi ini mungkin lebih berkaitan dengan ekspektasi pasar saham. Investor berharap akan ada “super cycle” — sebuah gelombang inovasi baru yang memicu lonjakan permintaan terhadap produk Apple. Sayangnya, demi menyenangkan pemegang saham, Apple justru terpeleset.
Apple memang telah mengakui kesalahan ini dan berjanji bahwa fitur-fitur yang ditunda akan diluncurkan dalam tahun mendatang. Namun, keterlambatan ini malah memperkuat anggapan bahwa Apple tertinggal dalam perkembangan teknologi paling revolusioner abad ini.
Narasi yang Keliru: Apple Gagal dalam AI?
Di sinilah narasi tentang kegagalan Apple menjadi tidak sepenuhnya tepat. Kritik yang dilontarkan, seperti oleh kolumnis New York Times Kevin Roose, menyiratkan bahwa Apple seolah gagal “menangkap momen” AI. Dalam podcast-nya, Hard Fork, Roose menyatakan bahwa Apple seharusnya lebih siap menerima kesalahan dan ketidaksempurnaan saat mengembangkan fitur berbasis AI.
Namun, pandangan ini bertolak belakang dengan filosofi dasar Apple. Sejak era Steve Jobs, perusahaan ini dikenal sangat perfeksionis dalam mendesain produk. Citra Apple yang eksklusif, aman, dan mudah digunakan tidak lepas dari kontrol ketat terhadap sistem iOS, meskipun hal ini sering dikecam sebagai praktik monopolistik.
Kepercayaan publik terhadap Apple bukan hanya soal desain, tapi juga keamanan data. Pengguna nyaman menyimpan informasi pribadi, memindai wajah, hingga membagikan lokasi karena yakin Apple mampu melindungi privasi mereka.
Itulah sebabnya Apple tidak bisa serta-merta menyisipkan teknologi AI yang belum matang ke dalam sistemnya. Produk Apple harus works out of the box — artinya langsung bisa digunakan tanpa panduan rumit. Bahkan pengguna yang tidak terlalu melek teknologi pun harus bisa memakainya dengan mudah.
AI yang Belum Siap, Bukan Apple yang Tidak Bisa
Roose berpendapat bahwa pengguna seharusnya lebih toleran terhadap ketidaksempurnaan AI dan belajar cara menggunakannya dengan benar. Tapi ini menempatkan beban kesalahan pada pengguna, bukan pada teknologi itu sendiri. Kenyataannya, konsumen sudah cukup sibuk dengan pekerjaan, keluarga, dan rutinitas sehari-hari — mereka tidak punya waktu untuk memahami seluk-beluk cara kerja chatbot.
Co-host Hard Fork, Casey Newton, justru menggarisbawahi bahwa AI masih lebih cocok disebut sebagai fenomena riset sains daripada produk konsumen. Google atau Amazon pun belum menunjukkan fitur AI yang benar-benar mengubah cara orang menggunakan teknologi.
Apple sempat menawarkan visi menarik untuk Siri versi AI. Bayangkan, saat Anda terlambat berangkat kerja, cukup katakan: “Hey Siri, jam berapa pesawat mama mendarat? Di JFK atau LaGuardia?” Siri akan memindai email atau pesan dan memberi jawaban. Tapi, fitur seperti ini hanya berguna jika akurasinya 100%. Karena jika salah 2% saja, bisa-bisa Anda menjemput mama di bandara yang salah. Dan itu masalah besar.
Kesimpulan: Bukan Apple yang Lambat, Tapi AI yang Belum Siap
Jadi, benarkah Apple yang tertinggal dalam perlombaan AI? Atau justru AI yang belum matang untuk diadopsi luas?
Daripada memaksa Apple menyesuaikan diri dengan ekspektasi pasar atau permintaan investor, mungkin sudah waktunya kita bertanya: apakah teknologi ini memang sudah siap digunakan oleh publik?
Alih-alih menyalahkan Apple karena terlalu hati-hati, kita justru bisa belajar bahwa dalam hal teknologi personal dan data sensitif, pendekatan yang penuh pertimbangan lebih dibutuhkan daripada sekadar jadi yang tercepat.
Baca artikel seru lainnya di sini!
Sumber : cnn.com