Nemes Corp

Kopi di Tengah Krisis Iklim: Ladang Irigasi Jadi Penyelamat Petani Brasil

Kopi di Tengah Krisis Iklim: Ladang Irigasi Jadi Penyelamat Petani Brasil

Petani kopi Brasil memeriksa pohon kopi yang teririgasi di tengah perubahan iklim
Sumber Foto : Freepik

Perubahan iklim pertanian kopi Brasil telah membawa tantangan besar bagi para petani. Tahun lalu, kekeringan ekstrem melanda sejumlah wilayah, menyebabkan banyak pohon kopi mengering dan produksi anjlok. Namun, di tengah kondisi sulit tersebut, sebagian petani justru berhasil meraup panen besar—berkat sistem irigasi canggih.

Rodrigo Brondani, manajer utama di perkebunan Joha di negara bagian Bahia, optimis menyambut panen. Perkebunan kopi industri seluas 900 hektare ini menggunakan irigasi pusat (central pivot) yang memungkinkan penyiraman hingga 20 jam per hari. Hasilnya, Brondani memperkirakan panen mencapai 80 karung per hektare—dua kali lipat dari rata-rata nasional.

Western Bahia, Harapan Baru di Tengah Krisis

Sementara banyak wilayah tradisional seperti Minas Gerais kesulitan air tanah, Bahia bagian barat justru berkembang pesat. Daerah ini berada di atas akuifer Urucuia, salah satu sumber air bawah tanah terbesar di dunia. Itulah sebabnya kawasan ini menjadi tujuan baru bagi investor pertanian besar, seperti AFB&IOB, perusahaan pemilik Joha.

Direktur AFB&IOB, Sergio Vieira, menyebut bahwa ketersediaan air kini menjadi prioritas utama dalam ekspansi lahan. “Kami selalu mencari lahan baru, tapi sekarang air adalah faktor penentu utama,” katanya.

Namun, pertumbuhan pesat ini juga menimbulkan kekhawatiran. Penelitian dari Imaterra dan Universitas Federal Bahia menunjukkan bahwa relaksasi regulasi air menyebabkan eksploitasi berlebihan. Penggunaan air untuk pertanian di wilayah ini diperkirakan mencapai 17 miliar liter per hari—cukup untuk memasok sembilan kali populasi kota São Paulo.

Minas Gerais: Irigasi Tak Lagi Efektif Tanpa Air

Berbeda dengan Bahia, Minas Gerais menghadapi penurunan tajam pada level air tanah. Beberapa petani bahkan harus mengebor hingga 300 meter untuk menemukan sumber air—biaya yang sangat mahal dan belum tentu berhasil.

Mario Alvarenga, petani kopi di Perdoes, mengatakan bahwa meskipun memiliki sistem irigasi, kekeringan tahun lalu membuatnya tak bisa digunakan. Data dari Fundacao Procafe menunjukkan bahwa defisit kelembaban tanah di wilayah selatan Minas mencapai 300 milimeter pada akhir musim kemarau 2024—tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.

Investasi Mahal, Tapi Potensi Besar

Sistem irigasi berteknologi tinggi bukanlah investasi murah. Central pivot bisa mencapai 1,5 juta real (sekitar Rp263 juta), sementara sistem irigasi tetes (drip irrigation) memerlukan sekitar 40.000 real per hektare. Meski mahal, hasilnya menjanjikan. Petani yang menggabungkan irigasi dengan teknik pertanian regeneratif dapat meningkatkan hasil panen hingga 70 karung per hektare.

Untuk mendorong adopsi teknologi ini, koperasi kopi terbesar di Brasil, Cooxupe, bekerja sama dengan perusahaan Israel, Netafim, menyediakan sistem irigasi yang bisa dibayar dengan hasil panen kopi.

Pasokan Global Menipis, Harga Kopi Melonjak

Empat dari enam tahun terakhir menunjukkan bahwa konsumsi kopi dunia melebihi produksi. Dalam tiga tahun terakhir saja, defisit mencapai 12,5 juta karung—setara dengan 7% pasokan global tahunan. Akibatnya, harga kopi arabika melonjak hingga mencapai rekor US$4,40 per pon pada Februari 2025. Brand besar seperti Starbucks dan Nespresso pun terpaksa menaikkan harga jual.

Kesimpulan: Masa Depan Kopi Bergantung pada Air

Krisis iklim telah mengubah wajah pertanian kopi di Brasil. Irigasi kini bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Namun, tantangannya adalah menjaga keberlanjutan sumber daya air di tengah ekspansi pertanian yang agresif. Jika tidak ditangani dengan bijak, masa depan kopi dunia bisa terancam.

Baca artikel seru lainnya di sini!


Sumber : reuters.com